Laporan Khusus : Menelusur Peninggalan ‘Bandar Sriwijaya’ di Teluk Cengal OKI

 oleh : 

Adi Yanto, S. Pd

Ksb. Media dan Komunikasi Publik Setda OKI

 

Minggu Pagi telpon saya kembali berdering. Menerima panggilan kantor ketika libur menjadi hal biasa bagi saya sejak beberapa tahun terakhir tepatnya sejak diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara di Bagian Humas dan Protokol.  Dilayar telpon gemgam Tertulis Ibu Nila Dinas Pariwisata. Dalam benak saya telpon bu Nila pasti berkaitan dengan ditemukannya kembali benda berharga di Teluk Cengal yang heboh di media massa maupun media sosial sejak beberapa hari ini. Perkiraan saya tepat. Ibu Nila mengatakan bahwa setelah kemarin ramai pemberitaan tentang penemuan benda bersejarah tersebut tim peneliti dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi sedang dalam perjalanan menuju lokasi untuk mengecek kebenaran berita tersebut dan meminta saya untuk turut serta karena rasa ingin tahu saya yang tinggi, saya langsung mengiyakan ajakan tersebut.

Senin pagi saya mendatangi hotel tempat menginap para arkeolog ini. Hotel ini satu diantara hotel terbaik di kota kecil ini. Tim ini terdiri dari tiga orang Novi Hari Putranto, SS, Tarida Diami, SS dan Muchlisin,S. Pd.  dari wajah masing-masing mereka masih kelelahan setelah menempuh perjalanan hingga 6 jam dari Jambi menuju Kayuagung. Disana juga menunggu Kepala Dinas Pariwisata OKI Ifna Nurlela, Kabid Kebudayaan, Nila Maryati satu orang staf dan supir. Setelah sedikit perbincangan dan perkenalan tepat pukul 7.15 WIB kami berangkat.

Perjalanan darat menuju Cengal membutuhkan waktu hingga tiga jam. Waktu ini relatif lebih cepat seiring sudah diperbaikainya ruas jalan Sepucuk sepanjang 38 Km yang menghubungkan Kayuagung dengan Pedamaran Timur membelah hamparan lahan gambut. Sepanjang jalan kami masih menemui para pekerja yang sedang melakukan pengecoran jalan. Perbaikan jalan Sepucuk memang menjadi prioritas Bupati sekarang, H. Iskandar, SE karena  jalan ini merupakan akses utama bagi warga di empat kecamatan; Pedamaran Timur-Sungai Menang-Cengal dan Mesuji Raya. Bertahun-tahun jalan ini menjadi jalur neraka bagi warga yang melintasi karena licin ketika di timpa hujan dan berdebu di musim panas. Namun kini jalan Sepucuk sudah mulus hingga menghemat jarak tempuh kami menjadi sekitar 1 jam saja.

Perjalanan mulai terasa berat ketika melewati Jembatan Desa Kayulabu Kecamatan Pedamaran Timur. Jalan bergelombang dan berdebu membuat perjalanan sedikit tidak nyaman namun kami tetap terhibur menyaksikan hamparan gambut yang selama ini terbakar tampak mulai dihijaukan rumputan liar dan pohon gelam serta melihat aktivitas warga setempat yang ber mata pencaharian utama dari kebun sawit dan karet.

Memasuki Kecamatan Cengal, perkebunan sawit berubah menjadi perkebunan karet. Perkebunan karet ini selain milik perusahaan, juga masyarakat.  Hampir setiap dusun juga ditemukan rumah walet, yang dicat hitam dan ukuran jendela dan pintunya yang kecil.

Sejak tahun 2015 masyarakat Sungai Menang dan Cengal sudah mendapatkan fasilitas penerangan listrik dari negara. Sebelumnya penerangan listrik didapatkan masyarakat dari jaringan listrik menggunakan generator yang diusahakan sejumlah warga. Itu pun tetap menyiapkan generator kecil di rumah pengusaha listrik tersebut tidak mendapatkan pasokan BBM. Kini rumah-rumah kayu itu sudah terang benderang oleh listrik negara dialirkan  dari Kecamatan Mesuji.

Tiba di kantor camat kami disambut oleh Gotot Holden staf  Kecamatan Cengal yang tampak sedang sibuk melayani masyarakat yang membuat KTP dan administrasi kependudukan lainnya.

“Pak Camat ada undangan rapat di Kabupaten tapi meski camat tidak ada pelayanan tetap berjalan baik” pungkasnya sambil menyuguhi kami air mineral.

Tak lama berselang datang Pemuda setempat Ringgu Umang atau yang dikenal warga setempat Siringgu. Ringgu tampak sudah akrab dengan para arkeolog dari BPCB Jambi. Wajar saja karena Ringgu adalah penghubung bagi orang luar yang akan melakukan penelitian atau sekedar berkunjung terkait penemuan benda sejarah di wilayah ini.

“Sejak kebakaran hutan tahun 2015 lalu masyarakat disini mencari peruntungan di lahan sana” ujarnya sambil menunjuk ke arah lepas pantai timur. Sejak tiga tahun ini katanya lagi warga di desa ini dihebohkan penemuan-penemuan benda berharga. Tahun 2015 lalu penemuan terjadi diwilayah Sungai Bagan, Kanal 12, Pulau Tengkoran Pulau Pisang dan Kemada beberapa situs diwilayah desa Ulak Kedondong Kecamatan Cengal. Baru-baru ini ada penemuan lagi namun diwilayah yang berbeda, yaitu di Talang Petai Wilayah Desa Simpang Tiga Kecamatan Tulung Selapan. Bahkan kata dia minggu lalu ada warga yang menemukan emas berbentuk keong namun sayangnya keong emas tersebut sudah dijual warga ke Tokoh Emas di Palembang tak tanggung-tanggung harga yang ditawarpun mencapai ratusan juta rupiah.

Gambar: Keong Emas yang ditemukan Warga di Situs Talang Petai. Sayangnya keong emas ini sudah dijual ke pedagang emas di Palembang (dok. Warga Cengal)
Warga Cengal Berbondong-Bondong Bekarang (Mencari Emas) di Situs Talang Petai. Bahkan Warga Rela Berkemah berhari-hari dilokasi penemuan ini (Dokumen Warga Cengal)

Dikatakan Ringgu warga bahkan menginap dilokasi penemuan selama berhari-hari. “Mereka bawak bekal, mendirikan tenda kalalu malam suasananya ramai seperti di desa ini” Tutur Ringgu.

Menuju lokasi penemuan, Talang Petai membutuhkan waktu hampir dua jam dengan naik perahu getek menyusuri aliran sungai menuju arah Selat Bangka. Biaya sewanya mencapai 1 Juta Rupiah “Sewa getek, berapa hari mau nginap disana, sudah selesai nanti dijemput lagi” ungkap Ringgu. Hari itu sebetulnya kami sangat ingin menuju lokasi melihat warga berkarang emas namun karena keterbasan waktu kami menemui satu-satu warga yang beruntung mendapat emas.

Semakin penasaran, kami lalu diajak Ringgu berkunjung ke rumah Qori salah satu pencari harta karun di Talang Petai. Menurut cerita Ringgu dari sekian banyak warga yang mendulang emas, Qori adalah yang paling sering beruntung. “Aku sudah berkali kali kesana, namun tidak pernah dapat. Mungkin bukan peruntungannya” Ujarnya.

 

 

Tidak begitu jauh kami berjalan. Kami berhenti di sebuah rumah panggung yang berada tepat dipinggir sungai Cengal. Ringgu lalu memanggil si empunya rumah. Dari dalam terdengar sahutan lalu keluarlah wanita paruh baya. Dia adalah kusnaini istri qori. “Baru pagi tadi bapak pergi berkarang (mencari emas)” Ungkapnya sambil mempersilahkan kami naik. “Jangan khawatir, kalau mau lihat barang-barang temuannya ada” Ungkapnya sambil mencabut emas yang membalut jari manisnya. “Ini salah satunya di dapat suami saya dua hari yang lalu” ungkapnya sambil menyerahkan cincin emas berlukiskan bunga kepada Novi Peneliti BPCB. Novi menaksir cincin emas itu memiliki kadar 9,58 gram lalu ditimbang beratnya 5,7 on. Kusnaini menceritakan cincin emas itu di dapat suaminya di Talang Petai Desa Simpang Tiga Abadi. Menurutnya dia belum berniat menjual cincin tersebut karena bentuknya yang indah. “sayang mas kalau di jual, ini saya mau simpan saja” ungkapnya.

Gambar: Cincin Emas Bermotif Bunga di temukan warga di Situs Talang Petai Simpang Tiga (Dok. Humas OKI)

 Tidak hanya cincin emas, Kusnaini pun mengeluarkan barang-barang lain yang ditemukan suami dan anaknya. Ada serbuk emas yang dia bungkus dengan plastik obat, keramik china yang diduga berasal dari dinesty tang, anting-anting, mankuk perunggu, manik-manik dan gerabah.

 

Peneliti BPCB Novi Hariputranto mengatakan penemuan emas dan perunggu tersebut mengisyarakatkan bahwa ada pemukiman penduduk yang dulunya menempati wilayah teluk cengal ini merupakan kalangan berada “setidaknya ada pemukiman bangsawan dahulunya disini jika melihat hasil temuan ini” pungkasnya. “Kalau keramik itu dari luar, kalau gerabah itu dalam negeri” tambah rekannya Tarida Diami, S. Hum. Sehingga disimpulkan ada jalur transaksi perdangan diwilayah ini dahulu kala.

 

Gambar: Kepala Dinas Disbudpar OKI Ifna Nurlela, Peneliti BPCB Jambi dan Keluarga Qori (Dok. Humas OKI)

 

 

Kepada Kusnaini, Tarida mengatakan tujuan mereka datang ke lokasi ini dalam rangka mendata benda purbakala yang ditemukan Qori. “Yang bernilai itu, nilai sejarahnya bu, kalau ibu jual maka nilainya akan hilang. Uang yang ibu dapat juga tentu habis” ungkap Tarida meyakinkan Kusnaini dan keluarganya. “Mohon agar disimpan dan kami akan beli benda-benda ini tentunya dengan harga yang pantas ditambah jasa temuannya” ungkapnya. Dikatakannya dalam waktu dekat tim dari BPCB akan datang lagi ke Cengal untuk menindaklanjuti temuan ini dan melakukan penelitian lebih lanjut  terkait penemuan eks Bandar Sriwijaya ini.

Gambar: Tarida Diami Peneliti dari BCPB Jambi mengamati temuan warga di Situs Bandar Sriwijaya Teluk Cengal (Dok. Humas OKI)

Usai berkunjung ke rumah qori kami diajak ke rumah Aliyung (50). Pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Aliyung juga ikut melakukan pencarian harta karun seperti Qori namun dia sedikit kurang beruntung. “Ini yang saya temukan” ungkapnya sambil memperlihatkan Kayu berbentuk Dayung, satu keramik china bercorak naga, ayam jantan dan rusa. Aliyung menceritakan benda-benda itu dia dapat di Talang Petai tiga hari yang lalu. Kayu Berbentuk Gayung menurut dia ditemukan dalam kubangan lumpur “waktu saya ambil beratnya mencapai 20 kilo, namun anehnya sekarang tampak kering dan ringan begini” tuturnya. Aliyung berharap pemerintah melalui Balai dapat menjaga lokasi penemuan benda-benda bersejarah ini dan meminta yang berwajib turut mengamankan situs bersejarah yang diduga merupakan eks dermaga Sriwijaya ini.

“Kami yang sudah tua-tua ini hanya bisa meninggalkan sejarah. Sejarah leluhur itu tidak ternilai harganya. Kami berharap pemerintah turun langsung menyelamatkan situs bersejarah ini” harapnya.

Gambar: Dayung Kayu dan Keramik Tiongkok yang ditemukan di Rumah Aliyung Warga Desa Cengal (Dok. Humas OKI)

 

Menjaga Situs Peninggalan Sriwijaya

Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim yang sangat berpengaruh di nusantara. Sriwijaya juga dikenal wilayah transit perdagangan internasional. Konon Para pedagang Arab, Cina, Parsi dan India lebih memilih jalur laut dari pada melewati Pegunungan Himalaya atau yang disebut dengan Jalur Sutra. Jalan sutera yang melewati darat itu penuh dengan tantangan. Jika memilih jalan darat berarti para pedagang telah siap untuk menanggung segala bahaya yang tidak sedikit.

Mengutip dari wacana.co Pilihan lain yang diambil para saudara ini adalah lewat jalur laut. Rute yang terkenal pada masa itu adalah Cina – Laut Cina Selatan – Selat Malaka – Bandar – Sriwijaya – India – Oman – dan langsung menuju Arab; begitu juga sebaliknya.

Jalur ini Tentu saja hal ini sangat menguntungkan Kerajaan Sriwijaya, terlebih perairan di sebelah tenggara juga merupaka wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Jelas, mengapa Kerajaan Sriwijaya terus tumbuh dan berkembang menjadi salah satu penguasa utama jalur perdagangan dari  segala jurusan baik lewat utara maupun lewat tenggara (Selat Sunda).

Jalur Dagang yang Aman

Melansir dari Wacana.co Jalur laut yang melintasi Sriwijaya dikenal dengan jalur lintas yang aman. Hal ini karena Sriwijaya memperkuat armada lautnya. Armada Kerajaan Sriwijaya kabarnya banyak yang ditugaskan untuk mengatasi rintangan yang didalangi para bajak laut.

Perompak-perompak itu dapat terhalau dan kemudian tunduk pada Kerajaan. Bahkan para bajak laut yang sudah takluk itu tidak sedikit yang kemudian bergabung dengan armada Kerajaan. Itulah sebabnya armada Sriwijaya semakin kuat dan mampu menahan berbagai serangan dari dalam maupun yang datang dari luar.

Kegiatan perdagangan yang melintasi Sriwijayapun makin ramai. Barang-barang dan hasil bumi wilayah Kerajaan Sriwijaya menjadi barang perdagangan yang laku di pasaran dunia. Barang-barang seperti gading gajah, kulit penyu, emas, dan perak, diburu karena mutunya sudah tidak diragukan lagi di kalangan para pedagang asing. Belum lagi rempah-rempah, damar, dan kemenyan yang sudah lebih dahulu menjadi primadona perdagangan di Nusantara.

Photo : Serpihan perahu yang ditemukan warga

Bandar-bandar dagang Sriwijaya tumbuh secara mantap beberapa pedagang yang datang dan pergi dari Sriwijaya, mereka kabarnya sama sekali tidak khawatir dan was-was apabila melewati perairan yang dijaga armada-armada Sriwijaya yang ditugaskan oleh kerajaan. Semua ini tak lain adalah akibat usaha dari raja Sriwijaya yang berusaha keras melindungi keselamatan dan nyawa para saudagar dan pelaut dari negara-negara sahabat dan penduduk Sriwijaya sendiri.

Sriwijaya yang Bergelimang Kemewahan

Berkat keuntungan yang menumpuk secara terus menerus inilah, para penguasa Kerajaan Sriwijaya kian hari kian makmur. Kekayaan tersebut diperoleh dari pelayanan jasa pelabuhan dan jasa-jasa perniagaan lainnya. Selain itu juga berkat kekayaan alam wilayah Sriwijaya yang sangat makmur.

Yang jelas sebagai bandar dagang yang sibuk, pemasukan bisa berasal dari cukai-cukai yang dipungut dari barang-barang dagangan yang masuk dan pajak-pajak yang ditarik dari bandar-bandar atau pelabuhan cukup banyak untuk menopang kebesaran peradaban Sriwijaya pada masa-masa sesudahnya.

Dalam catatan-catatan sejarah disebutkan bahwa barang-barang mewah teramat laku di wilayah Sriwijaya. Orang kaya di Sriwijaya begitu menyukai kain-kain yang halus. Selain itu sutra bermutu tinggi dari Cina dan porselen-porselen yang anggun menjadi bagian dari kehidupan mereka. Apalagi beberapa kerajinan dari logam emas, perak, dan perunggu merupakan perhiasan penting yang melengkapi upacara-upacara keagamaan. Selain patung-patung, mereka juga amat menyukai harum wangi dari parfum dunia Arab di samping kerajinan-kerajinan halus lainnya. Pada masa Sriwijaya juga masyarakatnya mula menenun kain yang terbuat dari emas (Songket).

Posisi Teluk Cengal dalam Jaringan Maritim

Penemuan kembali benda-benda berharga di Teluk Cengal Kabupaten OKI menegaskan bahwa Teluk Cengal merupakan teluk yang ideal untuk menjadi lokasi bandar pelabuhan karena terletak di persimpangan jalur pelayaran antara Selat Bangka dengan Selat Sunda dan Laut Jawa di selatan. Asumsi ini diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan orkelog Nurhadi Rangkuti dari Balai Arkeologi Jogjakarta di Cengal selama bertahun-tahun.

Peta Teluk Cengal di pantai timur Sumatera Selatan (dok. Balar Sumsel 2007 )

Rangkuti mengatakan Keterangan mengenai jalur pelayaran di sekitar Selat Bangka diperoleh dari catatan-catatan Portugis abad ke-16 -17. catatan-catatan dari para pelaut Portugis, yang dia kutip dari PY Manguin (1984:17-24) berpendapat bahwa roteiros (buku-buku pemandu laut) mengenai lautan Indonesia, terutama jalur pelayaran Selat Bangka dapat memberikan petunjuk mengenai keadaan Selat Bangka dan pantai tenggara Sumatra yang tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Jalur yang dilalui para pemandu Portugis adalah sepanjang pantai Sumatra yang berlumpur untuk menghindari karang-karang di sepanjang pantai Bangka (Manguin, 1984:18). Roteiros dilengkapi juga dengan peta-peta. Peta-peta yang dibuat Francisco Rodrigues tahun 1513 dan Andre Persira Dos Reis tahun 1654 menunjukan pantai Sumatra tidak mengalami perubahan garis pantai yang berarti.

Palembang terletak agak ke hulu tidak di dekat pantai. Kedua peta itu juga menggambarkan adanya Pulau Maspari yang disebut dalam peta1513 yaitu Nucapara, letaknya di timur laut pantai Sumatra. Pada peta tahun 1654 Pulau Maspari disebut Lucipara . yang di tempatkan di timur sebuah teluk yang berlumpur. Pada teluk itu digambarkan sebuah saluran yang disebut Canal de Lucipara. Tidak diketahui apakah saluran itu saluran buatan atau sungai alam. Sebagaimana diketahui di Teluk Cengal bermuara Sungai Riding, Sungai Lebung Hitam, Sungai Lumpur, Sungai Jeruju dan Sungai Pasir. Apakah Canal de Lucipara yang dimaksud adalah Sungai Lumpur? Sungai tersebut merupakan sungai yang lebar dan menjadi lalu lintas perahu dan kapal dari Selat Bangka ke pedalaman teluk dan sebaliknya. yang sampai sekarang menjadi sungai yang ramai lalu lintasnya dari dan ke laut dan pedalaman dengan perahu bermotor. Roteiros juga memberi informasi mengenai kondisi perairan di pantai tenggara Sumatra. Kapal-kapal Portugis menyusuri sepanjang garis pantai Sumatra yang berlumpur dan dangkal. Para pelaut lebih memilih terperosok ke dalam lumpur di Sumatra daripada menabrak karang di sekitar Pulau Bangka (Tanudirdjo, 2008:14-15).

Peta sketsa Selat Bangka berdasarkan Andre Persira Dos Reis tahun 1654 (dok. Manguin 1984 dalam Rangkuti 2017)

 

Tome Pires (1512-1515), seorang pengelana bangsa Portugis, dalam perjalanan ke Selat Malaka menyebut Pulau Lucipara yang terletak di bagian akhir Selat Bangka. Dalam catatan perjalanannya itu ia menjelaskan bahwa Pulau Lucipara merupakan titik penanda untuk kapal-kapal yang berlayar menuju Kerajaan Sunda, Pelabuhan Jepara, dan Kepulauan Malaka (Cortessao 1944:157; Novita 2015:68; Rangkuti). Informasi yang ditulis oleh J. Stanton, seorang nakhoda Eropa pada abad ke-19 menggambarkan kondisi perairan di sekitar Pulau Lucipara di ujung timur Selat Bangka. Pulau Maspari atau Lucipara yang berhadapan dengan Tanjung Kait di Teluk Cengal membelah laut Selat Bangka menjadi dua terusan (channel), yaitu Terusan Lucipara (Lucipara Channel) dan Terusan Stanton (Stanton Channel). Kapal-kapal yang melalui Terusan Lucipara menyusuri garis pantai Sumatra yang dangkal dan berlumpur. Terusan Stanton yang dekat dengan Pulau Bangka merupakan terusan yang lebih dalam, berkarang dan arusnya deras (Stanton, 1860:71-100). Gambaran mengenai kondisi perairan Selat Bangka dan sekitar Pulau Lucipara memberi petunjuk bahwa pada masa lalu kapal-kapal yang melalui jalur Selat Bangka menuju Selat Sunda dan Laut Jawa atau sebaliknya, lebih sering menyusuri garis pantai Teluk Cengal daripada garis pantai Pulau Bangka. Teluk yang terlindung itu merupakan lokasi yang sering digunakan sebagai lokasi bandar pelabuhan.

Menurut Rangkuti data arkeologi yang ditemukan di Teluk Cengal memberikan gambaran mengenai adanya 16 pusat permukiman di Daerah Aliran Sungai Lumpur dan adanya aktivitas-aktivitas kemaritiman dengan ditemukannya perahu-perahu dan artefak-artefak impor dari Cina, India dan Persia.

Gambar: Kondisi Situs Kanal 12 pasca kebakaran dan penggalian liar (dok. N. Rangkuti 2016)

 

Pusat permukiman di lokasi tersebut diperkirakan sebagai kawasan bandar pelabuhan masa Sriwijaya yang diperkirakan dari abad ke 8 – 11 Masehi. Pada abad ke-8 sampai abad ke-13, Sriwijaya berkembang menjadi maharaja penguasa laut (thalassocracy) di Asia Tenggara meliputi wilayah Kambujadesa (sampai abad ke-10), Semenanjung Melayu, pantai timur Sumatra dan Jawa bagian barat (Wheatley:2010:292-300). Pada periode itu terdapat sejumlah bandar pelabuhan di Semenanjung Melayu, antara lain Grahi, Tambralingga, Langkasuka, Pahang dan Kedah. Bandar pelabuhan di pantai timur Sumatera terdapat di Lamuri (Aceh), Pane, Kampar dan Palembang. Di Jawa bagian barat Sriwijaya menguasai wilayah Sunda. Terkait dengan wilayah Sunda, Prasasti Kota Kapur bertarikh 28 April 682 yang ditemukan di Situs Kota Kapur di Pulau Bangka menceritakan tentang bala tentara Sriwijaya akan menyerang Bhumi Jawa. Penelitian mutakhir menguatkan bukti bahwa lokasi Bhumi Jawa terdapat di kawasan Situs Batujaya, bagian dari Kerajaan Tarumanegara yang terletak di pesisir utara Jawa di Kabupaten Krawang, Jawa Barat (Djafar: 2010:108-109).

Hal ini menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 bandar pelabuhan di pesisir utara Jawa Barat telah menjadi wilayah maharaja laut Sriwijaya. Hal yang menarik untuk dibayangkan jalur laut yang dilayari oleh perahu-perahu yang membawa bala tentara Sriwijaya dari Kota Kapur menuju Batujaya. Besar kemungkinan perahu-perahu itu berangkat dari dermaga Kota Kapur di tepi Sungai Mendo (Menduk) menuju muara sungai di Selat Bangka. Perahu-perahu Sriwijaya selanjutnya menyusuri garis pantai Sumatra yang memiliki banyak ceruk dan tanjung. Tanjung yang pertama dilalui adalah Tanjung Selokan, Tanjung Tapah, Tanjung Koyan, Tanjung Jatigombol, Tanjung Kait dan sampai di Teluk Cengal, yang berarti telah memasuki laut Jawa. Dari Teluk Cengal kemudian kapal menyusuri pantai utara Jawa menuju Batujaya di pesisir utara Krawang. Jalur pelayaran melalui Selat Bangka ke Laut Jawa yang dilakukan kapal-kapal Sriwijaya pada abad ke-7 tersebut berlanjut pada abad-abad berikutnya. Bukti-bukti arkeologis berupa kapal karam bersama barang muatannya di perairan Cirebon memberi penanda bahwa pada abad ke-10 kapal-kapal niaga Sriwijaya mengadakan perdagangan niaga di bandar-bandar pelabuhan antara yang terdapat di 17 pantai utara Jawa. Kapal kayu tradisi Asia Tenggara itu ditemukan pada tahun 2004 di perairan Cirebon pada kedalaman 30 meter. Kapal sarat dengan barang muatan asal Cina, India, Timur Tengah dan juga Sriwijaya. Terkait dengan rekonstruksi jalur pelayaran kapal yang tenggelam di Laut Jawa tersebut, Bambang Budi Utomo (2008) menafsirkannya berdasarkan asal muasal jenis barang muatan kapal. Lebih lanjut Utomo menyatakan: “Kapal-kapal dengan muatan keramik-keramik Tiongkok diduga berasal dari pelabuhan Kanton dengan destinasi pelabuhan Sriwijaya. Kapal-kapal dengan muatannya barang-barang kaca diduga berasal dari kawasan Timur Tengah dengan pelabuhan asalnya di sekitar Teluk Persia seperti Basra dan Kufah, dan pelabuhan destinasinya Sriwijaya. Dari Sriwijaya barang-barang komoditi dari berbagai pelabuhan tersebut kemudian dikapalkan lagi dengan menggunakan kapal Sriwijaya (kapal yang dibuat dengan teknologi Asia Tenggara) untuk dibawa ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa” (Utomo:2008:109).

Pendapat Utomo menrut Rangkuti perlu ditelusuri lebih jauh. Dimanakah lokasi pelabuhan Sriwijaya yang dimaksud? Apakah lokasi pelabuhan berada di Palembang atau lokasinya di daerah pantai tenggara Sumatra yang berada di sepanjang Selat Bangka? Bandar pelabuhan di Teluk Cengal dapat diajukan sebagai kemungkinan pernah menjadi lokasi pengapalan lagi barang-barang dari luar, mengingat posisinya yang strategis pada persimpangan jalur niaga maritim Selat Bangka, Selat Sunda dan Laut Jawa.

Kajiannya ini menurut Rangkuit berupaya memberikan gambaran mengenai ramainya lalu lintas pelayaran yang melintasi garis pantai Teluk Cengal sejak masa Sriwijaya. Di teluk tersebut ditemukan kawasan permukiman kuna yang luas dan padat di Daerah Aliran Sungai Lumpur sampai ke aliran Sungai Jeruju. Kawasan permukiman itu diperkirakan berkembang sejak abad ke-8 sampai abad ke-10, periode dimana Kerajaan Sriwijaya menjadi penguasa atau maharaja maritim (thalassocracy) di Asia Tenggara. Kawasan permukiman tersebut diperkirakan sebagai salah satu lokasi pelabuhan antara Sriwijaya, yakni pelabuhan sungai yang bermuara di Laut Jawa. Teluk Cengal memiliki posisi yang strategis, yaitu di persimpangan jalur maritim di antara Selat Bangka, Selat Sunda dan Laut Jawa. Kapal-kapal yang menyusuri Teluk Cengal baik dari Asia dan Semenanjung Melayu dari baratdaya maupun kapal-kapal dari Jawa dan wilayah timur nusantara, kemungkinan ada yang singgah di pelabuhan Teluk Cengal. Kapal-kapal singgah menunggu angin musim untuk kembali ke tempat 18 asalnya. Para saudagar, nakhoda dan para pelaut dari luar tinggal sementara di kawasan pelabuhan setelah bongkar muat barang dari kapal dan melakukan transaksi komoditi dengan masyarakat setempat. Komoditi lokal yang diminati antara lain getah damar yang banyak ditemukan di sekitar Teluk Cengal, yaitu pada situs-situs arkeologi di Air Sugihan.

Menurut Rangkuti Kajian mengenai kawasan Teluk Cengal sebagai lokasi bandar Sriwijaya baru pada tahap awal. Sebagian besar temuan benda arkeologi, baik yang ditemukan penduduk maupun melalui penelitian arkeologis, belum dianalisis seluruhnya untuk mengetahui bentuk, teknologi pembuatan, langgam (style) artefak, pertanggalan (dating), serta asal muasal artefak dari luar situs. Penelitian arkeologi tentang bandar pelabuhan Sriwijaya di pesisir tenggara Sumatra tambahnya perlu dilanjutkan dan dikembangkan untuk menguji dan membuktikan bahwa Teluk Cengal memiliki pelabuhan sungai sebagai pelabuhan antara pada masa Sriwijaya. Rangkuti menyarankan agar temuan ini  perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah agar ada pelindungan terhadap situs-situs di kawasan DAS Lumpur oleh karena banyak tinggalan arkeologis yang rusak dan hilang karena kebakaran hutan dan lahan, penggalian liar dan digunakannya lahan situs untuk perkebunan monokultur. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar